Rayuan Ayu Untuk Ibu
--
Seperti seorang ibu biasanya, khawatir selalu merayap dalam pikiran Ibuku tentang segala hal kecil yang terjadi padaku. Dalam setiap kemungkinan kecil yang bisa menimpa putrinya, aku. Tidaklah dalam hatiku untuk marah pada Ibu. Aku sangat memahami, bahwa dalam setiap tindakannya, Ibu hanya ingin melindungi dan menjaga buah hatinya, sama seperti aku menjaga Tabi dan Labu dengan penuh kasih sayang.
Ibu tidak pernah mengizinkanku pergi sendirian. Setiap kali aku mengajukan permohonan untuk pergi seorang diri, selalu ada seseorang yang harus dia repotkan. Entah itu kakak, atau teman. Hal ini cukup melelahkan. Bahkan, aku telah melakukan protes besar-besaran berkali-kali, tetapi respons Ibu selalu konsisten, tidak akan berubah. Bagi Ibu, aku masih terlihat sangat muda. Baginya, aku masih seperti bayi yang hanya tumbuh sedikit setiap tahunnya.
Namun pada kesempatan ini, aku ingin menyampaikan pada Ibu bahwa aku adalah seorang gadis belia yang berani. Dan tentunya, aku bertanggung jawab atas pilihan-pilihan yang aku buat sendiri. Aku yakin, tidak akan ada penyesalan di sini!
Hari ini hari Selasa. Hari dimana Ibu mengosongkan jadwalnya untuk menghabiskan waktu dengan anak gadisnya. Ibu adalah seorang penyanyi dengan bakat yang memikat, mampu menembus dinding-dinding emosi dengan suara merdunya. Namun, di balik gemerlap panggung dan sorotan, terdapat sosok yang lembut dan penuh kasih. Dalam tatapan matanya yang hangat, tersirat rasa sayang dan dedikasi yang tak terkira.
Duduklah aku di kafe itu, ditemani oleh sosok yang paling aku cintai: Ibu. Kami duduk berdampingan, menghirup aroma kopi yang menyegarkan. Meskipun hanya dalam keheningan, kehadiran Ibu memberikan kedamaian yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Di sini, di tengah gemerlap cahaya kafe, kami saling berbagi tatapan dan senyum penuh makna.
“Ayu mau bicara apa sama Ibu, nak? Kenapa gelisah sekali?”
Gerak tanganku meluncur menapak garuk di tengkuk yang tak terasa gatal sedikit pun. Kuucapkan senyum manis pada Ibu, sementara deretan gigiku tersingkap dalam senyum lembut yang terpancar.
“Ibu dengar dulu, jangan bereaksi sampai Ayu bilang boleh. Dan, Ayu tidak bertanya Ibu boleh atau tidak. Ayu cuma mau kasih tau Ibu, karena planning Ayu sudah diatur rapi sampai akhir. Janji ya, Ibu?”
Ibu menunjukkan ekspresi kebingungan dengan kerutan di keningnya. Pandangannya menyipit, memperlihatkan rasa curiga mendalam terhadap informasi aneh yang akan kusampaikan padanya.
“Iya, Ayu. Janji.”
“Ayu akan ke Paris. Bulan Februari nanti, sendiri. Tanpa Ibu dan Kakak.”
Mata Ibu membelalak, mencerminkan kejutan dan kebingungan yang mendalam atas apa yang baru saja aku ungkapkan.
Wah… apa hal ini sangat mengejutkan bagi Ibu?
Ibu mengulas senyum, tangannya bergerak mengusak ujung kepalaku lembut.
“Ibu tidak akan bereaksi apa-apa. Gak masalah, nak. Apa Ayu sudah siapkan semua berkasnya? Ibu bantu, nak,” Ibu berkata sambil tersenyum lagi, “Namun, mari kita buat perjanjian, setuju?”
Dengan antusias, aku mengangguk sebagai jawaban atas ajakan Ibu tadi, penuh harap dan rasa terima kasih atas tawarannya.
“Paris kan jauh, kalau Ayu pergi, nanti Ibu tidur sendiri di rumah. Kalau perjanjiannya tentang perguruan tinggi dan program studinya, Ayu setuju?”
Aku mengangguk sekali lagi dengan mantap, "Gak masalah. Ayu masih mau membuat perjanjian dengan Ibu!"
“Deal, nanti Ibu beri pilihan sewaktu kamu kembali dari Paris ya, nak. Ibu cari tahu dulu, okay?”
Aku mengangguk lagi.
Hatiku bersorak kegirangan, penuh antusiasme yang menyala-nyala. Aku sadar, momen ini akan menjadi berbeda dari sebelumnya. Perjalanan ke Paris bukanlah semata-mata untuk berlibur. Aku terpesona melihat betapa Ibu, dengan kepekaannya, mengetahui segalanya. Alasan utamaku pergi ke Paris, yang selama ini belum pernah aku ungkapkan, seakan sudah terbaca olehnya.
Tentang perjanjian yang kami buat, tidak ada rasa takut yang menghantui. Aku yakin sepenuhnya bahwa Ibu akan memberikan pilihan yang sesuai dengan potensiku, tanpa menuntutku untuk mengorbankan hal-hal yang penting bagiku.